Selasa, 22 April 2008

Jepang : Sang Macan Asia Timur


Wacana populer bagaimana membangun daya saing bangsa dilontarkan Ikujiro Nonaka & Hirotaka Takeuchi tahun 1993 dalam bukunya "The Knowledge Creating Company : How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation". Meskipun karya klasik ini sudah sering dikupas, tapi tetap menarik untuk dicermati.

Waktu itu produk barat mendominasi pasar automotif. Menghadapi pemain raksasa seperti General Motors, Hiro Watanabe memutuskan daripada bertarung di pasar yang sama, lebih baik menciptakan pasar baru, sehingga lahirlah mobil Honda City ( Civic & Accord ) yang sangat familiar. Dengan konsep produk “Man Maximum-Machine Minimum” yang diluncurkan, menempatkan Honda Automobile Industry sebagai pelopor untuk kategori mobil Baby-Boom Segment. Mengutip pernyataan Al Ries dan Jack Trout, “if you can, be first, if you can’t, be first, create a new category in which you can be first”. Hal tersebutlah yang dilakukan Honda, yang kini menjadi salah satu produsen automotif nomor satu di dunia.

Sebagai pionir dalam kelasnya, Honda terus-menerus melakukan lompatan inovasi. Kata-kata metaphora ( man maximum-machine minimum, automobile evolution & tall boy ) yang mengekspresikan ide generik Watanabe bisa disebutkan Quantum Leap pemikirannya dalam upaya menumbuhkan sejuta pertanyaan dan proses jawaban kreatif ( what is ) dari seluruh anggota tim pengembang produk Honda. Dan hal itu tentu saja didukung oleh sense of the Honda team’s ambitious challenge yang kuat, prinsip kepemimpinan yang memberdayakan, serta nilai-nilai luhur negeri matahari terbit yang menginternal kuat dalam diri orang-orang Jepang.

Tulisan Takeuchi memberikan pelajaran berharga bagaimana industrialis Jepang memiliki "cara yang berbeda" dalam meningkatkan daya saing industrinya. Sesungguhnya industri Jepang tidak dimulai dengan mantap. Jepang tidak banyak memiliki keunggulan komparatif SDA, sebaliknya Jepang "kaya" akan bencana alam gempa bumi. Tidak ada minyak yang memancarkan dari tanah. Tidak ada tambang luas yang menghasilkan biji besi. hutannya kurus. Konon negeri ini tidak dapat menghasilkan makanan untuk memberi makan rakyatnya.

Menata kelola pembangunan dalam situasi tersebut menuntut perhatian lebih pada faktor-faktor yang mendukung. Dan hal ini telah dibuktikan oleh mereka. Daripada ribut-ribut mempersoalkan ”kemiskinan” SDA lebih baik berpikir keras apa yang dapat diperbuat. Satu klaim yang dikemukakan Takeuchi dan menjadikan entry point dalam memahami ”misteri” cara Jepang meraih keunggulan diungkapkan sebagai berikut :

”...we make the claim that Japanese companies have been successful because of their skills and expertise at organizational knowledge creation. By organizational knowledge creation we mean the capability of a company as a whole to create new knowledge, disseminate it troughout the organization, and embody it in products, services, and systems. Organizational knowledge creation is the key to the distinctive ways that Japaneses companies innovate. They are especially good at bringing about innovation continuously, incrementally, and spirally. This view goes against the grain of the way most Western observers think of Japaneses companies. The common view is that Japaneses companies, while extremely successful at imitation and adaptation, are not really all that innovative, especially when knowledge plays a big role in gaining competitive advantage…”


Dalam bagian pertama bukunya dijelaskan, kesuksesan industri-industri Jepang tidak semata-mata bersandar pada adanya akses kapital yang murah, kedekatan hubungan dengan para pelanggan, supplier, dan pemerintah. Juga bukan karena sistem senioritas atau kebijakan SDM lainnya – meskipun faktor-faktor tersebut adalah penting – namun lebih pada kepiawaian mereka dalam mengembangkan mekanisme penciptaan pengetahuan baru untuk menghasilkan ide-ide inovatif.

Kisah sukses produk Honda adalah refleksi dari tradisi intelektual keilmuan Jepang yang luar biasa. Sebuah tradisi yang menurut Saya dibangun di atas 3 pilar utama :

Pilar inovasi yang pertama adalah pengertian, konsepsi, dan dimensi pengetahuan itu sendiri. Tradisi keilmuan Jepang telah membagi dua dimensi keilmuan yang kita kenal dengan Tacit Knowledge dan Explicit Knowledge. Dua dimensi keilmuan tersebut dipandang sebagai sumber mata air informasi yang tak pernah kering memberikan banyak insipirasi.

Pilar inovasi yang kedua adalah pengenalan cara baru dalam mentransformasi input internal eksternal menjadi output ( produk, jasa, atau sistem ). Input tacit dan eksplisit knowledge tersebut dielaborasi melalui tahapan-tahapan Spiralisasi Pengetahuan ( SECI Model ).

Pilar inovasi yang ketiga adalah budaya berpikir kreatif. Berpikir kreatif harus diarahkan pada diferensiasi dan keunikan produk dari target pasar yang ingin dimasuki. Kemampuan menghasilkan ide-ide brilian melalui SECI Model menjadikan ilmu pengetahuan sebagai the highest competitive resources dalam menjaga eksistensi bisnisnya di tengah persaingan ketat.

Bukan hanya itu, berbicara tentang keberhasilan mereka adalah berbicara tentang nilai-nilai filosofi yang dianutnya ( BUSHIDO SPIRIT ). Pancaran nilai-nilai ajaran semangat Bushido mencuatkan 7 prinsip, yakni : GI, YU, JIN, RE, MAKOTO, MELYO, dan CHUGO.

orang-orang Jepang memiliki kesadaran kolektif untuk bangkit, harga diri bangsa atau rasa nasionalisme yang tinggi, serta mindset positif yang rasanya nihil akan terbangun bila mereka tidak mempunyai spirit, kultur dan nilai-nilai filosofi yang mengakar. The Bushido Spirit menjadi bukti, semacam virus mental N-for Ach ( Need for Achievement ) yang terpatri dalam raut wajah orang-orang Jepang.

Prinsip Pertama, GI, jadikan keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran. Jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat.

YU, itulah ajaran pendekar samurai. Faktor inilah yang menjadi prinsip kedua, yaitu memiliki keberanian dan sikap ksatria. Keberanian menghadapi kompetisi hanyalah sebagian rahasia kemenangan.

Murah hati, mencintai dan bersikap baik ( JIN ) adalah budaya Jepang yang membuang jauh-jauh sifat egoisme kerja atau rasa individualistik. Termasuk tradisi penciptaan pengetahuan, dibangun di atas landasan kerja tim. Layaknya seperti keluarga, mereka tanpa sungkan saling berbagi pengalaman ( tacit ), melakukan proses sosialisasi untuk melahirkan inspirasi-inspirasi cerdas.

Prinsip keempat adalah RE, bersikap santun, bertindak benar. Nasihat terbaik saat kita melakukan sharing knowledge dan mengemukakan ide adalah "bila salah, akui, berpikir kembali, serta tetaplah berada dalam pemikiran positif. Produk dibuat di pabrik, tapi kemenangan lahir dari pemikiran yang positif.

Prinsip kelima adalah MAKOTO, bersikap tulus yang setulus-tulusnya, bersikap sungguh-sungguh dan tanpa pamrih.

Menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan ( MELYO ) adalah budaya turun-temurun bangsa Jepang. Harakiri menjadi ritual, yaitu ketika mereka kalah dalam pertempuran. Masuk ke dunia moderen,praktek Harakiri dalam bentuk "pengunduran diri" dari jabatan karena terlibat korupsi atau merasa gagal menjalankan tugas.

Prinsip yang terakhir adalah CHUGO, mengabdi dan loyal. Sangat jarang orang Jepang berpindah-pindah pekerjaan. Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi.

Highly spriritualism insight merupakan jawaban, mengapa kesuksesan mereka banyak meninggalkan ”enigma” bagi para pemikir barat. Teka-teki yang tidak hanya bercerita tentang model berpikir kreatif ala Jepang, namun juga mencakup proses transendensi untuk menghasilkan produk-produk inovasi melampui pengertian bisnis dan inovasi itu sendiri seperti yang selama ini dipahami.

Etos kerja menjadi bagian terpenting dalam upaya pencapaian kesuksesan, baik dalam komunitas kerja maupun komunitas lingkungan sosial yang lebih luas. Bangsa Indonesia sebenarnya memiliki modal sosial etos kerja yang tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain, hanya mungkin kita belum mengasahnya dengan baik.

Mari kita tetap belajar dan menerima kebaikan dari siapapun juga...

1 Komentar:

Pada 25 Juni 2008 pukul 06.37 , Anonymous Anonim mengatakan...

Artikelnya cukup bagus...

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda

Widget Animasi