Jumat, 25 April 2014

Banyak orang tua menaruh harapan, tetapi banyak juga yang menatap cemas, saat saya menjejakkan kaki ke dunia pendidikan. Yang pertama, berharap anaknya menjadi orang sukses. Adapun yang kedua memandang sebaliknya, akankah tumpuan harapannya

Seorang dosen senior datang kepada saya menyampaikan kerisauannya,agar pihak civitas akademik segera melakukan pembinaan attitude mahasiswa. "Mereka cuek dan masa bodoh, seperti sudah kehilangan harapan" ujarnya. Ada beberapa dosen lain ternyata juga menyuarakan hal yang sama.

Sambil menampung usulan mereka-karena ini juga bagian tanggung jawab kampus-saya pun mencoba mendeteksi gejala tersebut. Saya pribadi sempatkan mengajar untuk mata kuliah Personality Development(PD) bersama dengan pimpinan dan teman-teman dosen. Saya mencoba masuk dan menggali alam pikiran mahasiswa. Kuisioner kami sebarkan. Materi kuliah PD pun disusun ulang dengan lebih mengarah pada pengembangan visi dan mentalitas "bisa". Success is My Right! Tagline affirmatifnya Andrie Wongso ini bahkan kerap digaungkan oleh teman saya dalam setiap Ice Breaking pertemuan kuliah.

Dari hasil pengamatan di lapangan, perlahan saya mencoba menarik kesimpulan di awal-meskipun belum merepresentasikan kondisi sebenarnya secara valid-aura pesimistis hidup barangkali tengah menggejala di kalangan generasi muda. Sadar atau tidak sadar aura negatif tersebut terpancarkan secara kolektif, yang akhirnya mengendap kuat dalam pikiran bawah sadar. Jawaban pertanyaan kuisioner yang dibagikan pun terkadang sulit saya mengerti. Isi jawabannya belum mencerminkan "refleksi" mereka terhadap materi yang didapat, namun lebih pada penilaian subjektif dosen pengampu mata kuliah.

"Kalau gini, apa kita perlu mengundang motivator kawakan ?" tanya teman saya. "Kenapa nggak ? Kalo perlu, kita tunjuk saja Mas Anthony Robbin jadi dosen tetap kampus kita", Celetuk saya dengan canda.
Tak dipungkiri, Siapa Yang Berbicara-Siapa Yang Mengajar, memang memberikan pengaruh besar terhadap keberhasilan anak didik. Namun tentu bukan segala-galanya. Siapa yang bisa menjawab, orang-orang seperti Bung Karno, Jenderal Sudirman, KH. Hasyim Ashari, Jack Welch, Bill Gates, dan lainnya terlahir menjadi tokoh terkenal karena semata-mata faktor kepiawaian gurunya dalam men-drive mental mereka? Bila ya, bukankah guru-guru mereka juga mendidik murid yang lain, yang secara logis tentu semua murid yang diajarinya pasti menjadi orang-orang hebat juga? Apa memang begitu kenyataannya? Semuanya jelas tergantung pada diri masing-masing, kilah saya dalam hati. Tapi sebagai pendidik, tentunya tak baik kita berprinsip "biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu".

Tiga tahun saya aktif di dunia pendidikan ternyata memiliki tantangannya tersendiri. Berbeda dengan pemikiran-pemikiran pragmatis, saya banyak berdialog dengan orang-orang yang masih memiliki pemikiran idealis."It's beyond customerview" kata pimpinan saya, "anggaplah mereka adik atau anak-anak kita yang tengah berada di persimpangan jalan, bingung melangkah hendak kemana berjalan..."

Disinilah peran pendidik dan lembaga pendidikan harus mampu memposisikan diri, memberikan pencerahan sebenarnya buat mereka. Beratnya beban hidup di tengah gonjang ganjing kenaikan BBM barangkali menjadi efek domino munculnya aura-aura pesimistis. Namun janganlah sampai membuat para pendidik ikut-ikutan "terkontaminasi".



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda

Widget Animasi